Welcome to my blog And Find More About Santri!!!!!

Minggu, 28 Agustus 2011

Idul Fitri Dan Ramadhan, Antara Rukyah, Hisab Dan Itsbat

Seseorang merukyah Hilal
 “Perbedaan umat adalah rahmat”, ungkapan ini tepat ketika disampaikan dalam konteks perbedaan yang bertanggungjawab. Perbedaan yang menjunjung tinggi akhlaqul karimah, serta mengutamakan kebenaran dan keadilan.
Hari raya Idul Fitri, momentum religi terakbar di Indonesia selalu menuai problematika seperti ini. Ketidakdewasaan berbeda pendapat menyebabkan hampir setiap tahun, umat Islam dihadapkan dengan suasana Idul Fitri yang tidak menentu. Bagi kalangan tertentu, mungkin kondisi seperti ini tidak banyak dipusingkan, akan tetapi di tingkat masyarakat bawah, perbedaan Idul Fitri menimbulkan ketidaknyamanan bahkan pertentangan yang kadang sempat meruncing.


Kondisi tersebut diperparah oleh sikap sebagian ahli hisab yang karena minim dalam pemahaman fiqh dan demi melanggengkan eksistensinya, mereka telah menanam fanatisme dan taqlid buta di tengah masyarakat awam. Ibadah puasa dan hari raya seolah-olah dalam pandangan mereka merupakan dua persoalan yang secara absolut menjadi wilayah kalkulator dan kitab hisab mereka. Mereka sudah tidak begitu peduli dengan hasil rukyah, yang seharusnya menjadi al-maqshud, bahkan tidak menyadari hasil perhitungan metode satu dengan yang lain sudah tidak serasi lagi.
Dari sini dapat kita pahami, kesalahan bukan dalam metode hisab yang sudah disepakati eksistensinya, akan tetapi persoalannya terletak pada kesadaran menempatkan hitungan hisab dalam koridor dan sesuai dengan proporsi syariatnya.
Di sisi lain, meskipun pemerintah aktif melakukan langkah itsbat dalam setiap hari raya Idul Fitri, namun karena kewenangan intervensinya terbatas, keputusan itupun tidak mungkin bersifat mengikat.
Seyogyanya dalam kondisi seperti ini kita harus bersikap bijaksana, tidak perlu saling tuding kesalahan, Menyampaikan pemahaman yang benar, baik kepada pihak-pihak yang terkait, maupun kepada masyarakat awam, menjadi solusi tepat agar di tahun 1429 H nanti, kejadian di atas tidak perlu terulang kembali.
Berikut beberapa hukum, kaidah dan aturan fiqh, terkait dengan penghitungan hisab, rukyah, itsbat dan etika serta sikap yang benar saat terjadi perbedaan.
1. SISTEM HISAB
a. Eksistensi Hisab
Hisab adalah metode yang dilegalkan sebagian ulama, lebih khusus dari kalangan madzhab syafi’i. Hasil perhitungan hisab menurut mereka dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan awal bulan, termasuk permulaan bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzul Hijjah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw:
“Jika kalian melihat hilal (bulan Ramadhan), maka berpuasalah. Dan jika kalian melihat hilal (bulan  Syawal) maka berbukalah. Dan jika terlihat mendung diatas kalian, maka kira-kirakanlah.” HR.Bukhari dan Muslim.
Imam Muthorrif bin ‘Abdullah dan Abu al-‘Abbas bin Surayj mengatakan; “Makna kalimat faqduruu lahu yang dimaksud adalah mengira-ngirakan keberadaan hilal dengan metode hisab”. Bahkan ulama lain berpendapat bahwa kalimat faqduruu lahu ُdalam hadits diatas bisa berarti mengira-ngirakan masa yang memungkinkan wujudnya hilal di atas ufuk (wujud wa imkan), meskipun pada kenyataannya tidak terlihat karena terhalang mendung misalnya.
b. Kualifikasi Sistem Hisab Mu’tabar
Metode hisab yang dinilai benar (mu’tabar) dipergunakan dalam penentuan awal bulan, termasuk bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzul Hijjah adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut;
Menggunakan metode hisab hilaly, yakni metode hisab yang dapat menguraikan secara jelas tentang posisi hilal diatas ufuk. Sedangkan hasil perhitungan dengan menggunakan hisab isthilahi, yakni metode hisab yang tidak dapat menunjukkan posisi hilal, seperti metode Aboge dan lain-lain, maka tidak bisa dijadikan pedoman .
Metode tersebut menggunakan pola penetapan yang bersifat pasti (qoth’i) serta telah teruji kebenarannya melalui uji coba berulangkali.
c. Golongan yang berhak berpedoman pada perhitungan hisab
Bagi kalangan ulama ahli hisab yang memakai dasar penetapan jatuhnya tanggal 1 Syawal, Ramadhan dan Dzul Hijjah dengan menggunakan disiplin (fan) ilmu hisab dan falak semata, dimungkinkan dan dibenarkan secara syar’i untuk menentukan awal puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri sesuai hitungan hisab yang telah digunakan (tanpa mempertimbangkan hasil rukyatul hilal dan itsbat pemerintah). Pendapat ini berlaku terbatas bagi dua golongan:
  • Golongan ulama’ Hasibin, yakni orang (pribadi, bukan kelembagaan) yang memiliki kemampuan ilmu hisab dan beri’tiqad bahwa hisab yang dilakukan merupakan langkah ijtihadi dan diyakini kebenarannya.
  • Golongan Mushaddiqin, yakni orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ilmu hisab, tetapi meyakini kebenaran pendapat ulama hasibin (mushaddiqul hasib), bukan hanya sekadar ikut-ikutan kepada orang lain yang bukan ahli hisab, dan bukan pula mengikuti lembaga seperti pondok pesantren, jam’iyyah atau mengikuti takbiran di masjid-masjid.
d. Ikhbar Atas Hasil Hisab
Pada prinsipnya, hukum mensosialisasikan (ikhbar) hari raya Idul Fitri berdasarkan hisab terjadi khilaf. Menurut satu versi ikhbar demikian tidak boleh dan menurut versi lain boleh. Kendati menurut versi kedua diperbolehkan, lantaran ikhbar merupakan wasilah idhhar (merayakan) Idul Fitri yang dapat menimbulkan tuhmah, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Hanya saja mengenai masalah kalender yang menyertakan hitungan hisab di dalamnya, maka tetap diperbolehkan, karena potensi mengakibatkan idhhar sangatlah kecil.
2. SISTEM RUKYAH
a. Rukyatul Hilal
Metode yang umum digunakan dalam menentukan awal bulan adalah rukyatul hilal, yakni terlihatnya bulan di atas ufuk setelah ijtima’/konjungsi. Metode ini mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibanding metode hisab. Para ulama bahkan bersepakat bahwa penentuan awal bulan yang didapat melalui rukyatul hilal dapat diamalkan untuk memulai puasa ramadlan serta mengakhirinya. Sehingga ketika pemerintah menetapkan (itsbat) awal ramadlan atau hari raya idul fitri berdasarkan rukyatul hilal, maka ketetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang berlaku kepada seluruh warga negaranya.
b. Ikhbar Atas Hasil Rukyah
Ikhbar merupakan hak setiap orang yang berhasil dalam rukyah dan yang mendengar berita rukyah meskipun satu atau dua orang saja, baik sesudah atau sebelum ditetapkan pemerintah. Dan bagi mereka yang menerima khabar (mukhbar) wajib mengamalkannya dengan dua syarat.
  1. Orang yang memberi khabar adil dan bisa dipercaya (mautsuq bih)
  2. Meyakini kebenaran berita yang dibawa mukhbir.
3. KONTRADIKSI HASIL RUKYAH DAN PERHITUNGAN HISAB
Terjadi perbedaan sikap dari para ulama ketika terjadi pertentangan antara hasil rukyatul hilal dengan hasil hisab yang menyimpulkan hilal tidak akan terlihat. Dalam hal ini ada tiga pendapat;
Menurut imam Romli, yang lebih didahulukan adalah hasil rukyatul hilal.
Menurut Imam Subki, yang lebih didahulukan adalah hasil perhitungan hisab qath’i.
Menurut Imam Ibn Hajjar, apabila hasil perhitungan hisab menggunakan sistem yang qath’i serta mencapai ‘adad at-tawatur (sekurang-kurangnya lima hasil perhitungan hisab dari kitab yang berbeda), maka hasil perhitungan hisab harus didahulukan.
ITSBAT DARI PEMERINTAH DALAM PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN SYAWWAL
Menurut hukum Islam, pemerintah berkewajiban untuk menetapkan/itsbat datangnya semua awal bulan Hijriyah. Karena hukum Islam banyak yang terkait dengan awal bulan Hijriyah. Seperti usia baligh, batas minimal usia haid dan lain-lain yang semuanya menggunakan patokan bulan Qomariyah.
Garis besar kaidah-kaidah penentuan awal bulan/itsbat oleh pemerintah adalah sebagai berikut;
  • Penentuan didasarkan pada rukyatul hilal, bukan berdasar hasil perhitungan ilmu hisab.
  • Jika pada tanggal 29 setelah terbenamnya matahari, tidak terlihat hilal diatas ufuk, maka hitungan bulan disempurnakan menjadi 30 hari (Istikmal)
Ketetapan pemerintah/itsbat mempunyai kekuatan hukum yang berlaku kepada seluruh warga negaranya. Artinya, apabila pemerintah telah menetapkan kapan jatuhnya hari raya idul fitri atau awal ramadlan, maka ketetapan tersebut berlaku secara umum.
Ketetapan/itsbat awal bulan oleh pemerintah harus didasarkan kepada kesaksian dua orang saksi yang dapat dipercaya, kecuali dalam penentuan awal bulan ramadlan, maka cukup dengan satu orang saksi.
Menurut Ibnu Hajar Al-Haytami, itsbat awal bulan juga dapat dilakukan apabila sampai berita kepada hakim secara mutawatir perihal terlihatnya hilal meskipun tanpa mendatangkan saksi atau orang yang melihat hilal. Yang dimaksud berita mutawatir adalah, sekurang-kurangnya ada empat orang yang melihat hilal dan dikabarkan kepada sekurang-kurangnya empat orang dan begitu seterusnya sampai kepada hakim yang berwenang untuk meng-itsbatkan awal bulan. Cara ini sulit terwujud, dan tidak digunakan dalam sidang itsbat pemerintah Indonesia.
Ormas Islam, perkumpulan, atau lembaga-lembaga diluar pemerintah, dalam pandangan fiqh, tidak mempunyai wewenang apapun untuk menentukan/itsbat kapan datangnya awal bulan.
KEWAJIBAN AHLI HISAB & MASYARAKAT SAAT TERJADI PERBEDAAN
Dalam hal ini, bagi ulama ahli hisab yang telah menentukan awal ramadhan/ syawwal menggunakan hasil perhitungan hisabnya tidak diperkenankan melakukan isy’ar (menyiarkan dan mengajak) dalam rangka menghindarkan fitnah dan kesalahpahaman di kalangan masyarakat luas.
Memulai awal bulan, baik awal bulan puasa atau bulan syawal, yang berbeda dengan ketetapan/itsbat pemerintah, secara fiqh memang dimungkinkan dan dapat dibenarkan dengan cara;
  • Mengikuti dan mempercayai hasil hisab dari para ahlinya
  • Mempercayai seseorang yang berhasil melihat hilal meskipun ditolak oleh hakim untuk di itsbatkan.
Meskipun demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni;
Apabila hari raya yang dilaksanakan mendahului hari raya menurut ketetapan pemerintah, maka kegiatan yang berhubungan dengan syiar hari raya tidak boleh ditampakkan kepada orang banyak, misalnya takbiran menggunakan pengeras suara di masjid, surau atau di jalan. Al-Habib Abu Bakar Bilfaqih salah seorang ahli fiqh dari negeri Tarim Yaman berfatwa dengan mengutip fatwa Syekh Abu Bakar bin Ahmad Al-Khotib bahwa haram hukumnya bagi orang-orang yang berlebaran mendahului ketetapan pemerintah yang berdasar rukyatul hilal, untuk mensyiarkan atau menampakkan kepada orang lain, karena berpotensi menimbulkan fitnah, yakni akan diikuti oleh orang lain dengan cara yang tidak benar.
Meskipun negara dan pemerintah Indonesia bukanlah pemerintah dari negara yang menjalankan hukum Islam sepenuhnya, akan tetapi menurut Syekh Jamaluddin bin Abdurrahman Al-Ahdal, selama ketetapan pemerintah dilakukan dengan cara yang dapat diterima – berdasarkan rukyatul hilal dan kesaksian yang diterima – dan hasil keputusannya tidak tergolong dalam keputusan hakim yang harus di batalkan (tidak menyalahi hukum syari’at dan tidak terbukti salah), maka tidak ada alasan bagi orang mukallaf untuk meragukannya.
Apabila hasil itsbat pemerintah didasarkan pada rukyatul hilal, maka itsbat pemerintah wajib diikuti, sedangkan bila berdasarkan selain rukyatul hilal (misalnya hanya dengan hisab saja), maka tidak wajib diikuti. Untuk itu, masyarakat diminta menunggu pengumuman itsbat pemerintah pada malam tanggal 30 Ramadhan 1429 H
Apabila pada malam tanggal 30 Ramadhan tidak ada satupun tim rukyat yang berhasil ro’yul hilal, (karena mendung dan sebagainya) maka pemerintah akan menetapkan istikmal dan disarankan kepada masyarakat (sebagai umumin nas) untuk mengikuti pendapat ini.
KESIMPULAN
  1. Untuk keperluan memulai puasa Ramadhan, melaksanakan Idul Fitri dan menyelenggarakan Idul Adha, maka semua warga NU diharuskan agar menyimak pengumuman dan penetapan pemerintah/ Departemen Agama melalui RRI dan TVRI dan lain-lain mengenai tiga hal ini.  Jika pengumuman dan penetapannya berdasarkan pada rukyatul hilal atau istikmal, maka warga NU wajib mengikuti dan mentaatinya. Tetapi jika pengumuman dan penetapannya hanya semata-mata berdasarkan hisab, maka warga NU tidak wajib mengikuti dan mentaatinya.
  2. Masyarakat yang berhari raya (bertakbir, shalat ied dll) di hari yang tidak sesuai dengan keputusan itsbat pemerintah yang memenuhi persyaratan, diwajibkan untuk melakukan ikhfa’ atau berhari raya (bertakbir, shalat ied dll) tidak secara terang-terangan. Dan diharapkan masyarakat yang tidak sependapat dengan keputusan pemerintah menyadari pentingnya persatuan dan persatuan yang harus dijaga.  Sikap demikian ini sesuai dengan pendapat jumhurus salaf dan sesuai dengan jiwa Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 1404 H/ 1983 M dan Keputusan Muktamar ke 27 Tahun 1405 H/ 1984 M. Dan dilindungi Undang-undang Dasar 1945, pasal 29, ayat 2.
APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?
Awal Ramadhan dan awal Syawal seringkali menjadi polemik, karena adanya perbedaan cara penghitungan atau cara penetapannya. Rasulullah sebenarnya sudah memberikan petunjuk melalui hadits yang masih tercatat sampai sekarang. Cukup simpel, mudah, dan tidak memberatkan.
Berikut nukilan hadits dari kitab Shahih Bukhari.

No. Hadist: 1773
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan) “.

No. Hadist: 1774
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Satu bulan itu berjumlah dua puluh sembilan malam (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi tiga puluh”.

No. Hadist: 1776
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh”.
Mudah kan? Melihat… bukankah semua orang selama punya mata yang normal bisa melihat? Rasulullah tidak membebani umatnya dengan hal-hal yang memberatkan, hanya saja kadang umatlah yang membebani diri sendiri dengan hal-hal yang berat.
Dari hadits di atas kita bisa tahu, bahwa penentuan awal Ramadhan dengan melihat bulan sabit di penghabisan tanggal 29 sya’ban, bukan tanggal 28, 27, atau sebelumnya seperti yang dilakukan kelompok Tharikat sattariyah di Padang Pariaman Sumatra Barat. Tanggal 28 itu masih disebut bulan mati, secara akalpun tak akan bisa dilihat.
Sedangkan benda yang menjadi pijakan dalam hal penentuan awal Ramadhan adalah bulan sabit, bukan yang lain seperti yang dilakukan kelompok jamaah an nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka menggunakan tinggi gelombang air laut.
Metoda yang dilakukan Rasulullah adalah dengan melihat, bukan menghitung.Melihat berarti membuktikan bahwa bulan memang terlihat, sedangkan ketika kita menghitung dan menetapkan , seakan-akan semua itu pasti adanya. Padahal di dunia ini tidak ada yang pasti. Apakah ketika hitungan kita mengatakan tanggal sekian bulan terlihat, itu akan pasti terlihat? Belum tentu…kita harus bisa membuktikan dengan melihat. Akhir dari segala keputusan adalah dengan melihat.
Ketika akhir tanggal 29 sya’ban kita tidak bisa melihat bulan sabit, maka petunjuk Rasulullah, genapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Tidak terlihatnya mungkin dikarenakan memang belum muncul, atau terhalang mendung. Tidak usah was-was, karena semua itu sudah sesuai pesan Rasulullah.
Semoga ilmu yang dibawa Rasulullah ini tidak akan punah karena umat Islam mencari jalan lain dalam menentukan awal Ramadhan dan awal syawal. Ini bisa saja terjadi karena alasan perkembangan jaman, maka ilmu ini ditinggalkan. Padahal ketika jaman Rasulullah dulu, ketika belum ditemukan peralatan canggih, hanya dengan menggunakan mata telanjang mereka bisa melihat bulan sabit untuk menentukan awal Ramadhan. Kalau bukan kita orang Islam, siapa lagi yang harus mengikut ilmu Rasulullah saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar