Welcome to my blog And Find More About Santri!!!!!

Selasa, 06 Maret 2012

PRESTASI SEBAGAI PARAMETER, RELEVANKAH?


“Prestasi” adalah sebuah kata yang mungkin sudah tak asing lagi terdengar oleh telinga setiap orang. Dewasa kini, akumulasi prestasi dalam lika-liku kehidupan sangat kelewat batas. Setiap orang yang berprestasi dianggap mampu oleh khalayak umum untuk mengemban segala tugas yang diberikan. Seorang yang mempunyai segudang prestasi dirasa mumpuni dan dianggap lebih relevan untuk mendapat predikat seorang yang “wah” dimata masyarakat sekitar. Para orang tua lebih bahagia bila putra-putrinya mendapat peringkat tinggi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Mereka (baca: Para Orang Tua) menganggap bahwa keberhasilan putra-putri mereka bisa terjamin dengan adanya peringkat tinggi yang dicapai baik dalam segi akademis atau dalam segi bakat maupun potensi yang dimiliki.
Namun di era globalisasi seperti zaman sekarang, dimana dekadensi moral telah berevolusi sebagai hal yang dianggap tabu menjadi layak, dimana hukum bukan lagi menjadi suatu hal yang perlu diimani dan ditaati, dimana sekulerisme semakin agresif untuk memposisikan dirinya sebagai tembok baja yang sangat membatasi antara agama, nasionalisme dan kehidupan sehari-hari. Masih relevankah prestasi sebagai parameter (baca: tolok ukur) atas keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-hari? Terlebih bagi para kaum intelektual alias para pelajar.
Para insan berpendidikan mendefinisikan arti dan makna prestasi sebagai hasil usaha seseorang untuk memahami dan mengerti serta mempelajari berbagai disiplin ilmu baik yang menggembirakan maupun yang menyedihkan. Definisi prestasi dalam hal ini masih belum bersifat universal. Secara kontekstual, definisi prestasi seperti di atas lebih cocok kalau kita korelasikan dengan bidang akademis.
Yang perlu kita garis bawahi dari definisi diatas adalah kata “Memahami, Mengerti serta Mempelajari”. Dari ketiga kata kata ini, bisa kita ambil sebuah kongklusi bahwa proses penganugerahan prestasi harus berdasarkan sebatas mana siswa mampu memahami, mengerti serta mengamalkan berbagai khazanah keilmuan yang telah diajarkan dibangku institusinya masing-masing. Alhasil, prestasi bukan merupakan tujuan utama dalam pendidikan. Karena hasil pemahaman seorang siswa bisa dilihat dari aspek yang lain.
Memang, prestasi adalah alat shortir pertama untuk mengetahui seberapa luas kemampuan seorang siswa tersebut, melainkan bukan tujuan yang paling utama. Karena perolehan prestasi pada zaman se-edan sekarang sudah banyak yang tidak memenuhi kriteria-kriteria seperti yang telah kami sebutkan di atas. Improvisasinya, bisa kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Faktanya, seseorang yang memiliki kecerdasaan tinggi serta bakat yang mumpuni tidak berbanding lurus dengan prestasi yang mereka dapatkan. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam meraih prestasi. Di antaranya adalah faktor internal dan faktor eksternal. Dalam hal ini contoh faktor internal yang berperan penting pada prestasi seseorang adalah masalah-masalah personal yang menjadi bumbu-bumbu kehidupan, seperti putus cinta, krisis finansial dan lain sebagainya. Karena faktor tersebut seseorang yang ber-IQ tinggi pun kadang-kadang harus kalah saingan dan dengan terpaksa harus mengakui keunggulan rivalnya.
Satu faktor lagi yang sangat mempengaruhi prestasi siswa. Mungkin implementasi faktor ini sudah Out Of Date alias basi untuk diangkat. Namun hal ini masih selalu layak untuk kita bahas dan kita temukan bersama bagaimana solusinya. Yaitu budaya mencontek, dalam kesehariannya. Mencontek sudah merupakan hal yang biasa terjadi dikalangan pelajar. Namun entitas contek-mencontek sangat merugikan siswa, walaupun siswa merasa enjoy karena mengerjakan tugas tanpa harus bersusah payah, tapi eksistensi contek-mencontek telah menumpulkan kecerdasan siswa. Hal ini membuat siswa semakin tidak sadar atas akibat yang akan dia dapatkan karena mencontek. Selain membutakan diri sendiri efek contek- mencontek juga membutakan beberapa pihak. Betapa tidak, siswa yang secara hakikatnya tidak mumpuni atas beberapa bidang, kini bisa melayang tinggi serta diakui keberadaannya oleh beberapa pihak hanya karena nilai di atas rata-rata yang ia dapatkan dari hasil mencontek.
Tidak hanya itu, budaya KKN yang biasa kita temui dalam hal konstitusi dan bisnis, kini sudah tak jadi orang asing lagi di dalam dunia pendidikan. Adalah seorang siswa SMA yang bernama Andi. Tiap hari aktifitasnya disekolah hanya bermain, menggoda temannya serta kerap tak masuk tiap jam pelajaran dimulai. Namun ketika kelulusan, dia menjadi salah satu siswa yang mendapatkan nilai Camlaude. Ini terjadi karena orang tua Andi adalah seorang konglomerat kaya yang bisa melakukan apa saja dengan uang yang dimilikinya.
Ada juga dari generasi tua yang kesulitan menulis tugas akhir untuk penyelesaian studinya, akhirnya memilih megupahkan penyelesaian studinya kepada orang yang dianggap bisa. Dengan bayaran yang sebanding, skripsi buatan orang pun akhirnya melenggangkan seseorang memperoleh predikat gelar sarjana.
Cara-cara kotor sistem pendidikan tanah air yang seperti ini akhirnya tanpa sadar merusak makna pengertian prestasi yang sesungguhnya. Makna prestasi yang berkutat pada tiga kata yaitu “hasil usaha memahami” kini berevolusi menjadi “hasil usaha membohongi”. Kondisi ini kian memperburuk wajah pendidikan Indonesia. Dari perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji inilah pada akhirnya muncul generasi-generasi intelektual penipu dan pembohong yang pada akhirnya mendapat kedudukan vital di negeri ini. Bisa dibayangkan penipuan apalagi yang akan dilanjutkan setelah para penipu ini menduduki jabatan. Hal inilah yang membuat prestasi pendidikan sebagai salah satu dasar upaya untuk mengatasi beberapa masalah kini malah berubah menjadi alat penipuan yang berbuntut pada semakin kronisnya masalah kompleks di negeri ini. Seperti budaya Korupsi yang semakin hari semakin bertambah fans-nya. Bahkan budaya ini sudah menjadi penyakit kronis yang sulit untuk disembuhkan.
Pernyataan diatas adalah sekelumit kecil tentang cara perolehan prestasi dalam segi akademis. Dalam segi nonakademis alias dalam ranah pengembangan bakat atau potensi, penganugrahan prestasi malah semakin liar. Dalam hal perlombaan, konspirasi-konspirasi tak terpuji dengan menghalalkan segala cara sering dipakai untuk mendapatkan sebuah prestasi yang diincar. Mulai pemalsuan data (dari umur, domisili, dsb) hingga budaya suap menyuap dan nepotisme. Akumulasi nafsu dalam diri seseorang telah menjadikan orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang tak terpuji. Hal inilah yang menjadikan Prestasi sangat sulit untuk dijadikan parameter.
Oleh karena itu, bagaimanapun juga prestasi bukanlah segalanya. Seorang yang cerdas akan pandai memilih dan memilah. Bukan hak mutlak penulis untuk seenaknya mengatakan parameter prestasi menjadi tidak relevan. Anda juga mempunyai hak, dan keputusan ada ditangan anda.
*Penulis adalah siswa kelas akhir MA. Mambaus Sholihin jurusan Keagamaan.
http://ekspresiblog.sttqgresik.ac.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar