“Prestasi” adalah sebuah kata yang mungkin sudah tak asing
lagi terdengar oleh telinga setiap orang. Dewasa kini, akumulasi prestasi dalam
lika-liku kehidupan sangat kelewat batas. Setiap orang yang berprestasi
dianggap mampu oleh khalayak umum untuk mengemban segala tugas yang diberikan.
Seorang yang mempunyai segudang prestasi dirasa mumpuni dan dianggap lebih
relevan untuk mendapat predikat seorang yang “wah” dimata masyarakat sekitar.
Para orang tua lebih bahagia bila putra-putrinya mendapat peringkat tinggi
dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Mereka (baca: Para Orang Tua)
menganggap bahwa keberhasilan putra-putri mereka bisa terjamin dengan adanya
peringkat tinggi yang dicapai baik dalam segi akademis atau dalam segi bakat
maupun potensi yang dimiliki.
Namun di era globalisasi seperti zaman sekarang, dimana
dekadensi moral telah berevolusi sebagai hal yang dianggap tabu menjadi layak,
dimana hukum bukan lagi menjadi suatu hal yang perlu diimani dan ditaati,
dimana sekulerisme semakin agresif untuk memposisikan dirinya sebagai tembok
baja yang sangat membatasi antara agama, nasionalisme dan kehidupan
sehari-hari. Masih relevankah prestasi sebagai parameter (baca: tolok ukur)
atas keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-hari? Terlebih
bagi para kaum intelektual alias para pelajar.
Para insan berpendidikan mendefinisikan arti dan makna prestasi
sebagai hasil usaha seseorang untuk memahami dan mengerti serta mempelajari
berbagai disiplin ilmu baik yang menggembirakan maupun yang menyedihkan.
Definisi prestasi dalam hal ini masih belum bersifat universal. Secara
kontekstual, definisi prestasi seperti di atas lebih cocok kalau kita
korelasikan dengan bidang akademis.
Yang perlu kita garis bawahi dari definisi diatas adalah
kata “Memahami, Mengerti serta Mempelajari”. Dari ketiga kata kata ini, bisa
kita ambil sebuah kongklusi bahwa proses penganugerahan prestasi harus
berdasarkan sebatas mana siswa mampu memahami, mengerti serta mengamalkan
berbagai khazanah keilmuan yang telah diajarkan dibangku institusinya
masing-masing. Alhasil, prestasi bukan merupakan tujuan utama dalam pendidikan.
Karena hasil pemahaman seorang siswa bisa dilihat dari aspek yang lain.
Memang, prestasi adalah alat shortir pertama untuk
mengetahui seberapa luas kemampuan seorang siswa tersebut, melainkan bukan
tujuan yang paling utama. Karena perolehan prestasi pada zaman se-edan sekarang
sudah banyak yang tidak memenuhi kriteria-kriteria seperti yang telah kami
sebutkan di atas. Improvisasinya, bisa kita lihat dalam kehidupan kita
sehari-hari. Faktanya, seseorang yang memiliki kecerdasaan tinggi serta bakat
yang mumpuni tidak berbanding lurus dengan prestasi yang mereka dapatkan. Hal
ini disebabkan karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
meraih prestasi. Di antaranya adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Dalam hal ini contoh faktor internal yang berperan penting pada prestasi
seseorang adalah masalah-masalah personal yang menjadi bumbu-bumbu kehidupan,
seperti putus cinta, krisis finansial dan lain sebagainya. Karena faktor
tersebut seseorang yang ber-IQ tinggi pun kadang-kadang harus kalah saingan dan
dengan terpaksa harus mengakui keunggulan rivalnya.
Satu faktor lagi yang sangat mempengaruhi prestasi siswa.
Mungkin implementasi faktor ini sudah Out Of Date alias basi untuk diangkat.
Namun hal ini masih selalu layak untuk kita bahas dan kita temukan bersama
bagaimana solusinya. Yaitu budaya mencontek, dalam kesehariannya. Mencontek
sudah merupakan hal yang biasa terjadi dikalangan pelajar. Namun entitas
contek-mencontek sangat merugikan siswa, walaupun siswa merasa enjoy karena
mengerjakan tugas tanpa harus bersusah payah, tapi eksistensi contek-mencontek
telah menumpulkan kecerdasan siswa. Hal ini membuat siswa semakin tidak sadar
atas akibat yang akan dia dapatkan karena mencontek. Selain membutakan diri
sendiri efek contek- mencontek juga membutakan beberapa pihak. Betapa tidak,
siswa yang secara hakikatnya tidak mumpuni atas beberapa bidang, kini bisa
melayang tinggi serta diakui keberadaannya oleh beberapa pihak hanya karena
nilai di atas rata-rata yang ia dapatkan dari hasil mencontek.
Tidak hanya itu, budaya KKN yang biasa kita temui dalam hal
konstitusi dan bisnis, kini sudah tak jadi orang asing lagi di dalam dunia
pendidikan. Adalah seorang siswa SMA yang bernama Andi. Tiap hari aktifitasnya
disekolah hanya bermain, menggoda temannya serta kerap tak masuk tiap jam
pelajaran dimulai. Namun ketika kelulusan, dia menjadi salah satu siswa yang
mendapatkan nilai Camlaude. Ini terjadi karena orang tua Andi adalah seorang
konglomerat kaya yang bisa melakukan apa saja dengan uang yang dimilikinya.
Ada juga dari generasi tua yang kesulitan menulis tugas
akhir untuk penyelesaian studinya, akhirnya memilih megupahkan penyelesaian
studinya kepada orang yang dianggap bisa. Dengan bayaran yang sebanding,
skripsi buatan orang pun akhirnya melenggangkan seseorang memperoleh predikat
gelar sarjana.
Cara-cara kotor sistem pendidikan tanah air yang seperti ini
akhirnya tanpa sadar merusak makna pengertian prestasi yang sesungguhnya. Makna
prestasi yang berkutat pada tiga kata yaitu “hasil usaha memahami” kini
berevolusi menjadi “hasil usaha membohongi”. Kondisi ini kian memperburuk wajah
pendidikan Indonesia. Dari perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji inilah pada
akhirnya muncul generasi-generasi intelektual penipu dan pembohong yang pada
akhirnya mendapat kedudukan vital di negeri ini. Bisa dibayangkan penipuan
apalagi yang akan dilanjutkan setelah para penipu ini menduduki jabatan. Hal
inilah yang membuat prestasi pendidikan sebagai salah satu dasar upaya untuk
mengatasi beberapa masalah kini malah berubah menjadi alat penipuan yang
berbuntut pada semakin kronisnya masalah kompleks di negeri ini. Seperti budaya
Korupsi yang semakin hari semakin bertambah fans-nya. Bahkan budaya ini sudah
menjadi penyakit kronis yang sulit untuk disembuhkan.
Pernyataan diatas adalah sekelumit kecil tentang cara
perolehan prestasi dalam segi akademis. Dalam segi nonakademis alias dalam
ranah pengembangan bakat atau potensi, penganugrahan prestasi malah semakin
liar. Dalam hal perlombaan, konspirasi-konspirasi tak terpuji dengan
menghalalkan segala cara sering dipakai untuk mendapatkan sebuah prestasi yang
diincar. Mulai pemalsuan data (dari umur, domisili, dsb) hingga budaya suap
menyuap dan nepotisme. Akumulasi nafsu dalam diri seseorang telah menjadikan
orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang tak terpuji. Hal inilah yang
menjadikan Prestasi sangat sulit untuk dijadikan parameter.
Oleh karena itu, bagaimanapun juga prestasi bukanlah
segalanya. Seorang yang cerdas akan pandai memilih dan memilah. Bukan hak
mutlak penulis untuk seenaknya mengatakan parameter prestasi menjadi tidak
relevan. Anda juga mempunyai hak, dan keputusan ada ditangan anda.
*Penulis adalah siswa kelas akhir MA. Mambaus Sholihin
jurusan Keagamaan.
http://ekspresiblog.sttqgresik.ac.id/
http://ekspresiblog.sttqgresik.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar