Bebicara soal pesantren dan politik, maka tak lepas terkait dengan Islam dan umatnya, sementara umat Islam pernah ada semacam anjuran dari para tokohnya (meski jumlahnya minoritas) agar tidak mencampurkan agama dengan politik terutama di Indonesia pada tahun 1980-an. Sehingga ada kesan bahwa umat Islam tak perlu berpolitik, apalagi dalam masyarakat pesantren, sehingga soal itu orang Islam dan para tokohnya menjadi phobi bicara soal politik. Dari sini muncul pertanyaan, benarkah umat Islam berhenti berpolitik terutama dikalangan pesantren? Dan benarkah pesantren selama ini tak kenal politik atau tak pernah berpolitik? Model politik yang bagaimana yang dilakukan pesantren, high politic atau low politic?
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, layak untuk menelusuri ungkapan dibawah ini. Jika menyimak apa yang diungkapkan oleh Wahjoetomo (1997:70) model pesantren di pulau Jawa berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman Walisongo. Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi, yang wafat pada 8 April 1419 M. meskipun begitu, setelah dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryosuroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bang Kuning.
Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga dikenal oleh masyarakat Majapahit. Pada saat itu (masa awal), pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan yakni ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sekian santri, muncul santri bernama raden Fatah beliau dan sunan Giri berinisiatif dalam bidang pendidikan secara berasrama dan teratur. Pada tahun 1476, Raden Fatah membentuk organisasi pendidikan dakwah Bhayangkari Ishlah (angkatan pelajar kebaikan) yang merupakan organisasi pendidikan dan pengajaran Islam yang pertama di Indonesia, meski istilah ini sebenarnya sudah muncul yang dirintis oleh Sunan Ampel.
Dalam praktek perjalanan selanjutnya Raden Fatah sebagai raja di kerajaan Islam Demak (Th.1500 M), munculnya kerajaan Islam Demak adalah bukti sejarah bahwa orang yang berbasis pesantren (Raden Fatah) mampu menjadi raja, inilah bukti bahwa orang pesantren saat itu sudah melek politik.
Kejayaan masyarakat pesantren mengalami hambatan ketikan Belanda merasa khawatir, eksistensi pesantren, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada tahun 1755, pendidikan dan perkembangan pesantren mulai dibatasi dan dihambat oleh Belanda. Bahkan tidak hanya pesantren aktifitas masyarakat muslim untuk menjalankan kewajiban agamanya juga dibatasi. Misal, Belanda menetapkan resolusi pada 1825 yang membatasi jumlah jamaah haji. (Wahjoetomo, ibid:74)
Nasib pesantren mengalami hambatan dan pukulan yang hebat ketika sekitar tahun 1900-an Belanda menghilangkan pengajaran sistem pesantren dan melaksanakan pendidikan sistem kelas atau sekolah. Dalam wilayah kekuasaan Mataram, pendidikan formal ala pesantren yang semula diakui dan diberlakukan diganti dengan model ini.
Akibat dari kebijakan Belanda ini, berdampak pada masyarakat sekitar Mataram, yakni pemahaman tentang Islam cukup memprihatinkan sebab Islam hanya dipahami sebatas khitan, puasa, dan larangan makan babi. Sementara akidahnya hancur karena yang subur adalah acara sesaji yang ditujukan kepada benda-benda yang dianggap keramat.
Namun demikian untuk diluar sekitar Mataram, pesantren tetap eksis (bertahan) meskipun sangat tertekan. Baru pada akhir abad ke-19 muncul gairah baru, semangat baru dikalangan para kyai, pesantren , sebab saat itu para kyai yang baru saja pulang dari belajar di Timur Tengah membawa wawasan baru, yaitu model pendidikan Islam dirubah menjadi model madrasah, sebagai tandingan dari model Belanda yaitu sekolah. Dengan model madrasah santrinya mencapai ribuan jumlahnya, seperti yang dialami di Tebuireng, Jombang.
Kebijakan Belanda (penjajah) terhadap umat Islam ini tidak hanya berdampak merubah model atau system yang ada di pesantren tetapi memunculkan rasa benci umat Islam terhadap Belanda semakin meningkat.
Wahjoetomo (1997:77) menjelaskan bahwa masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam:
* Uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan colonial. Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan
* Bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.
* Berontak dan mengadakan perlawanan nonfisik terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya.
Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880, telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di Indonesia yaitu:
* Pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828), pemberontakan ini dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol yang dikenal dengan julukan “Harimau nan Salafan”.
* Pemberontakan pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830) menurut Geertz pemberontakan ini timbul akibat tumbuhnya gerakan Mahdi yang melancarkan perang Sabil terhadap imperealis Belanda dan para pembantunya.
* Pemberontakan Banten, merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa. Yaitu pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 (dikenal dengan pemberontakan petani).
* Pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro, berhasil mempersulit Belanda masuk Aceh.
Berbagai pemberontakan dari kalangan santri memberi inspirasi munculnya organisasi Serikat Islam (SI) yang bertujuan memajukan dan menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan umat Islam. Organisasi SI ini meluas, sehongga muncullah apa yang dikenal dengan Central Sarekat Islam (CIS) di Surabaya tahun 1915, muncul Muhammadiyah tahun 1912, Persatuan Islam 1923, NU 1926.
Dalam uraian di atas membuktikan bahwa pesantren mengalami ujian berat dari pihak penjajah. Justru ada tantangan ini maka peantren semakin dewasa dan teruji. Oleh karena itu tidak aneh jika Mastuhu dalam tulisannya (1999:256) menegaskan bahwa munculnya pesantren dalam kultur masyarakat Indonesia diawali dengan perang nilai antara kekuatan hitam yang ada dalam masyarakat dengan kekuatan putih yang dibawa kyai. Namun karena nilai hitam itu dipelopori orang-orang yang tidak well educated, hampir dipastikan kyai mampu mematahkannya, sebab kyai mempunyai kekuatan “ghoib”, baik berupa seni beladiri maupun “ilmu putih”, suatu ilmu yang mengandung kebenaran dan bersumber kepada Al-Qur’an, misal : KH. Hasyim Asy’ari, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ahmad Sahal. Kekuatan yang melekat pada kyai itulah tampaknya merupakan dasar untuk membangun basis social pesantren, sehingga pesantren merupakan sub kultur yang unik.
Bahkan, Manfred Ziemek (1986:2) peniliti asal Jerman ini menyatakan bahwa pesantren merupakan pusat perubahan di bidang pendidikan, politik, budaya, sosial dan keagamaan.
Perulatan politik pesantren tidak berhenti sampai pasca kemerdekaan RI, hal ini bisa dibaca bagaimana pergulatan politik pesantren dari presiden pertama RI sampai presiden Megawati. Akan lebih jelas bila mengikuti Abdul Mukti (2002:125) yaitu pesantren yang mayoritas identik dengan NU pada periode pertama (1945-1952), NU bergabung dengan Masyumi sebagai satu-satunya partai politik umat Islam. Periode kedua (1952-1973) pasca muktamar ke-19 di Palembang, NU menyatakan diri keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai gerakan keagamaan. Periode ketiga (1973-1984), NU melakukan bergabung dengan PPP. Periode keempat (1984-1999) setelah muktamar Situbondo dimana NU menyatakan kembali ke khittah 1926. periode kelima (1999-sekarang) dimana NU secara resmi membidani dan mendukung PKB.
Pergulatan politik pesantren merupakan refleksi dari pemahaman dan kepentingan politik NU sebagaimana di kemukakan H. Rozikin Daman, pada periode 1952-1984 para ulama dan para politisi NU memiliki peran ganda. Mereka adalah pelaku politik sekaligus pemimpin umat. Karena itu, perilaku politik ulama merupakan pencerminan paham keagamaan. Pada saat bersamaan, perilaku keagamaan para ulama sangat bernuansa politik.
Pergulatan politik para ulama (baca:kyai) dengan sendirinya berdampak pada pendidikan pesantren. Selama pemerintahan Belanda, Soekarno maupun Soeharto, para kyai cenderung menjadi oposan pemerintah. Halini karena para kyai selalu mendukung partai yang tidak berkuasa. Kesan ini juga terpancar dalam citra pendidikan pesantren yang “anti-pemerintah”. Pada jaman Belanda, pesantren disebut sebagai “sekolah liar” yang tidak mendapakan subsidi dan tidak diakui eksistensinya. Pada jaman Soeharto, pendidikan pesantren tidak mendapatkan pengakuan karena tidak mengikuti kurikulum pemerintah dan tidak mengikuti ujian negara. Masih bisa diingat kasus alumni Gontor yang sulit melanjutkan kuliah di IAIN atau kasus alumni pondok Pabelan, Magelang yang tiba-tiba dinyatakan batal seluruh ujian-ujiannya ketika yang bersangkutan telah ujian skripsi di IKIP Negeri Yogyakarta (saat ini UNY), ini jelas pengalaman pahit dari para alumni pesantren.
Politik tidak lepas dari kekerasan, kekerasan politik disebutkan oleh Abdul Mukti dalam Dinamika Pesantren (2002:129) bahwa kekerasan politik terjadi menjelang pemilu 1999, yaitu antar pesantren, peristiwa Dongos (Jepara), Pekalongan. Kekerasan lain juga ditunjukan oleh pendukung Gus Dur, puncak kekerasan terjadi pada saat kekuasaan presiden Gus Dur mulai digoncang dengan berbagai isu korupsi, yang menonjol adalah Buloggate dan Bruneigate, sehingga muncul fatwa “politik” dari kalangan NU. Yaitu muncul istilah bughat, dampak dari istilah tersebut menimbulkan keresahan sebab diantara tokoh NU ada yang mengumandangkan “genderang perang” dengan mengatakan “darah Amien Rais” halal dan jargon “jihad” lainnya.
Tidak mengherankan apabila ratusan ribu orang mendaftarkan diri sebagai pasukan berani mati yang siap membela Gus Dur sampai titik darah penghabisan. Maka tidak aneh bila pernah terjadi pengrusakan amal usaha Muhammadiyah dan partai politik kontra Gus Dur di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ini terjadi disaat masyarakat pesantren mendominasi politik di negeri ini (saat Gus Dur berkuasa). Jika peminat pasukan erani mati ini muncul dari kalangan pesantren, maka benar apa yang dinyatakan oleh Komaruddin Hidayat dalam pengantar buku Problem Psikologi Kaum Santri (2003:XIX) bahwa wacana pesantren yang popular adalah seputar nasibnya yang selalu dijadikan obyek komoditas politik terutama menjelang pemilihan umum untuk membujuk dan menjadikan figur kyai serta pesantrennya sebagai instrumen penjaringan massa untuk mendukung sebuah partai politik. Maka sebenarnya layak untuk direnungkan dan ditindak lanjuti apa yang dinyatakan oleh Komaruddin Hidayat (Ibid:XXV), saat ini dunia pesantren ditantang oleh sejarah apakah mereka hanya mampu berperan sebatas sebagai kekuatan oposisi melawan pemerintahan sebagaimana yang ditunjukkan sejak zaman penjajah, ataukah bisa menjadi pusat pemberdayaan masyarakat dalam rangka state nation building.
Pesantren kedepan tampaknya berpeluang untuk terus bergulat dengan politik, oleh karena itu perlu model politik santun dengan meminjam istilah Amien Rais, yaitu berpolitik kualitas tinggi (high politics) yang memiliki tiga cirri (Amien Rais, 2004:10), yaitu pertama, setiap jabatan pada hakikatnya berupa amanah dari masyarakat yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Kekuasaan betapapun kecilnya, harus dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan bersama. Kedua, setipa jabatan politik mengandung dalam dirinya pertanggung jawaban, tanggung jawab dihadapan Allah. Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan prinsip ukhuwah, yaitu persaudaraan antar sesame umat manusia, menghindari gaya politik konfrontatif yang penuh dengan konflik dan melihat pihak lain sebagai pihak yang harus dieliminasi.
Bila masyarakat pesantren dapat melakukan ciri tersebut diatas disaat berpolitik, maka bagi masyrakat yang sehat mentalnya akan medukung dan tentunya tidak asing lagi bagi pesantren. Mengingat substansi yang ada dalam ajaran pesantren sudah selayaknya pesantren memunculkan peran politiknya dalam tataran internasional, mengingat bahwa pesantren sarat dengan nilai-nilai moral selama belum terkontaminasi oleh budaya Barat. Demikianlah sekilas relasi pesantren dengan politik dalam tataran historis.
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, layak untuk menelusuri ungkapan dibawah ini. Jika menyimak apa yang diungkapkan oleh Wahjoetomo (1997:70) model pesantren di pulau Jawa berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman Walisongo. Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi, yang wafat pada 8 April 1419 M. meskipun begitu, setelah dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryosuroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bang Kuning.
Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga dikenal oleh masyarakat Majapahit. Pada saat itu (masa awal), pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan yakni ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sekian santri, muncul santri bernama raden Fatah beliau dan sunan Giri berinisiatif dalam bidang pendidikan secara berasrama dan teratur. Pada tahun 1476, Raden Fatah membentuk organisasi pendidikan dakwah Bhayangkari Ishlah (angkatan pelajar kebaikan) yang merupakan organisasi pendidikan dan pengajaran Islam yang pertama di Indonesia, meski istilah ini sebenarnya sudah muncul yang dirintis oleh Sunan Ampel.
Dalam praktek perjalanan selanjutnya Raden Fatah sebagai raja di kerajaan Islam Demak (Th.1500 M), munculnya kerajaan Islam Demak adalah bukti sejarah bahwa orang yang berbasis pesantren (Raden Fatah) mampu menjadi raja, inilah bukti bahwa orang pesantren saat itu sudah melek politik.
Kejayaan masyarakat pesantren mengalami hambatan ketikan Belanda merasa khawatir, eksistensi pesantren, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada tahun 1755, pendidikan dan perkembangan pesantren mulai dibatasi dan dihambat oleh Belanda. Bahkan tidak hanya pesantren aktifitas masyarakat muslim untuk menjalankan kewajiban agamanya juga dibatasi. Misal, Belanda menetapkan resolusi pada 1825 yang membatasi jumlah jamaah haji. (Wahjoetomo, ibid:74)
Nasib pesantren mengalami hambatan dan pukulan yang hebat ketika sekitar tahun 1900-an Belanda menghilangkan pengajaran sistem pesantren dan melaksanakan pendidikan sistem kelas atau sekolah. Dalam wilayah kekuasaan Mataram, pendidikan formal ala pesantren yang semula diakui dan diberlakukan diganti dengan model ini.
Akibat dari kebijakan Belanda ini, berdampak pada masyarakat sekitar Mataram, yakni pemahaman tentang Islam cukup memprihatinkan sebab Islam hanya dipahami sebatas khitan, puasa, dan larangan makan babi. Sementara akidahnya hancur karena yang subur adalah acara sesaji yang ditujukan kepada benda-benda yang dianggap keramat.
Namun demikian untuk diluar sekitar Mataram, pesantren tetap eksis (bertahan) meskipun sangat tertekan. Baru pada akhir abad ke-19 muncul gairah baru, semangat baru dikalangan para kyai, pesantren , sebab saat itu para kyai yang baru saja pulang dari belajar di Timur Tengah membawa wawasan baru, yaitu model pendidikan Islam dirubah menjadi model madrasah, sebagai tandingan dari model Belanda yaitu sekolah. Dengan model madrasah santrinya mencapai ribuan jumlahnya, seperti yang dialami di Tebuireng, Jombang.
Kebijakan Belanda (penjajah) terhadap umat Islam ini tidak hanya berdampak merubah model atau system yang ada di pesantren tetapi memunculkan rasa benci umat Islam terhadap Belanda semakin meningkat.
Wahjoetomo (1997:77) menjelaskan bahwa masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam:
* Uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan colonial. Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan
* Bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.
* Berontak dan mengadakan perlawanan nonfisik terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya.
Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880, telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di Indonesia yaitu:
* Pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828), pemberontakan ini dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol yang dikenal dengan julukan “Harimau nan Salafan”.
* Pemberontakan pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830) menurut Geertz pemberontakan ini timbul akibat tumbuhnya gerakan Mahdi yang melancarkan perang Sabil terhadap imperealis Belanda dan para pembantunya.
* Pemberontakan Banten, merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa. Yaitu pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 (dikenal dengan pemberontakan petani).
* Pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro, berhasil mempersulit Belanda masuk Aceh.
Berbagai pemberontakan dari kalangan santri memberi inspirasi munculnya organisasi Serikat Islam (SI) yang bertujuan memajukan dan menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan umat Islam. Organisasi SI ini meluas, sehongga muncullah apa yang dikenal dengan Central Sarekat Islam (CIS) di Surabaya tahun 1915, muncul Muhammadiyah tahun 1912, Persatuan Islam 1923, NU 1926.
Dalam uraian di atas membuktikan bahwa pesantren mengalami ujian berat dari pihak penjajah. Justru ada tantangan ini maka peantren semakin dewasa dan teruji. Oleh karena itu tidak aneh jika Mastuhu dalam tulisannya (1999:256) menegaskan bahwa munculnya pesantren dalam kultur masyarakat Indonesia diawali dengan perang nilai antara kekuatan hitam yang ada dalam masyarakat dengan kekuatan putih yang dibawa kyai. Namun karena nilai hitam itu dipelopori orang-orang yang tidak well educated, hampir dipastikan kyai mampu mematahkannya, sebab kyai mempunyai kekuatan “ghoib”, baik berupa seni beladiri maupun “ilmu putih”, suatu ilmu yang mengandung kebenaran dan bersumber kepada Al-Qur’an, misal : KH. Hasyim Asy’ari, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ahmad Sahal. Kekuatan yang melekat pada kyai itulah tampaknya merupakan dasar untuk membangun basis social pesantren, sehingga pesantren merupakan sub kultur yang unik.
Bahkan, Manfred Ziemek (1986:2) peniliti asal Jerman ini menyatakan bahwa pesantren merupakan pusat perubahan di bidang pendidikan, politik, budaya, sosial dan keagamaan.
Perulatan politik pesantren tidak berhenti sampai pasca kemerdekaan RI, hal ini bisa dibaca bagaimana pergulatan politik pesantren dari presiden pertama RI sampai presiden Megawati. Akan lebih jelas bila mengikuti Abdul Mukti (2002:125) yaitu pesantren yang mayoritas identik dengan NU pada periode pertama (1945-1952), NU bergabung dengan Masyumi sebagai satu-satunya partai politik umat Islam. Periode kedua (1952-1973) pasca muktamar ke-19 di Palembang, NU menyatakan diri keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai gerakan keagamaan. Periode ketiga (1973-1984), NU melakukan bergabung dengan PPP. Periode keempat (1984-1999) setelah muktamar Situbondo dimana NU menyatakan kembali ke khittah 1926. periode kelima (1999-sekarang) dimana NU secara resmi membidani dan mendukung PKB.
Pergulatan politik pesantren merupakan refleksi dari pemahaman dan kepentingan politik NU sebagaimana di kemukakan H. Rozikin Daman, pada periode 1952-1984 para ulama dan para politisi NU memiliki peran ganda. Mereka adalah pelaku politik sekaligus pemimpin umat. Karena itu, perilaku politik ulama merupakan pencerminan paham keagamaan. Pada saat bersamaan, perilaku keagamaan para ulama sangat bernuansa politik.
Pergulatan politik para ulama (baca:kyai) dengan sendirinya berdampak pada pendidikan pesantren. Selama pemerintahan Belanda, Soekarno maupun Soeharto, para kyai cenderung menjadi oposan pemerintah. Halini karena para kyai selalu mendukung partai yang tidak berkuasa. Kesan ini juga terpancar dalam citra pendidikan pesantren yang “anti-pemerintah”. Pada jaman Belanda, pesantren disebut sebagai “sekolah liar” yang tidak mendapakan subsidi dan tidak diakui eksistensinya. Pada jaman Soeharto, pendidikan pesantren tidak mendapatkan pengakuan karena tidak mengikuti kurikulum pemerintah dan tidak mengikuti ujian negara. Masih bisa diingat kasus alumni Gontor yang sulit melanjutkan kuliah di IAIN atau kasus alumni pondok Pabelan, Magelang yang tiba-tiba dinyatakan batal seluruh ujian-ujiannya ketika yang bersangkutan telah ujian skripsi di IKIP Negeri Yogyakarta (saat ini UNY), ini jelas pengalaman pahit dari para alumni pesantren.
Politik tidak lepas dari kekerasan, kekerasan politik disebutkan oleh Abdul Mukti dalam Dinamika Pesantren (2002:129) bahwa kekerasan politik terjadi menjelang pemilu 1999, yaitu antar pesantren, peristiwa Dongos (Jepara), Pekalongan. Kekerasan lain juga ditunjukan oleh pendukung Gus Dur, puncak kekerasan terjadi pada saat kekuasaan presiden Gus Dur mulai digoncang dengan berbagai isu korupsi, yang menonjol adalah Buloggate dan Bruneigate, sehingga muncul fatwa “politik” dari kalangan NU. Yaitu muncul istilah bughat, dampak dari istilah tersebut menimbulkan keresahan sebab diantara tokoh NU ada yang mengumandangkan “genderang perang” dengan mengatakan “darah Amien Rais” halal dan jargon “jihad” lainnya.
Tidak mengherankan apabila ratusan ribu orang mendaftarkan diri sebagai pasukan berani mati yang siap membela Gus Dur sampai titik darah penghabisan. Maka tidak aneh bila pernah terjadi pengrusakan amal usaha Muhammadiyah dan partai politik kontra Gus Dur di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ini terjadi disaat masyarakat pesantren mendominasi politik di negeri ini (saat Gus Dur berkuasa). Jika peminat pasukan erani mati ini muncul dari kalangan pesantren, maka benar apa yang dinyatakan oleh Komaruddin Hidayat dalam pengantar buku Problem Psikologi Kaum Santri (2003:XIX) bahwa wacana pesantren yang popular adalah seputar nasibnya yang selalu dijadikan obyek komoditas politik terutama menjelang pemilihan umum untuk membujuk dan menjadikan figur kyai serta pesantrennya sebagai instrumen penjaringan massa untuk mendukung sebuah partai politik. Maka sebenarnya layak untuk direnungkan dan ditindak lanjuti apa yang dinyatakan oleh Komaruddin Hidayat (Ibid:XXV), saat ini dunia pesantren ditantang oleh sejarah apakah mereka hanya mampu berperan sebatas sebagai kekuatan oposisi melawan pemerintahan sebagaimana yang ditunjukkan sejak zaman penjajah, ataukah bisa menjadi pusat pemberdayaan masyarakat dalam rangka state nation building.
Pesantren kedepan tampaknya berpeluang untuk terus bergulat dengan politik, oleh karena itu perlu model politik santun dengan meminjam istilah Amien Rais, yaitu berpolitik kualitas tinggi (high politics) yang memiliki tiga cirri (Amien Rais, 2004:10), yaitu pertama, setiap jabatan pada hakikatnya berupa amanah dari masyarakat yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Kekuasaan betapapun kecilnya, harus dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan bersama. Kedua, setipa jabatan politik mengandung dalam dirinya pertanggung jawaban, tanggung jawab dihadapan Allah. Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan prinsip ukhuwah, yaitu persaudaraan antar sesame umat manusia, menghindari gaya politik konfrontatif yang penuh dengan konflik dan melihat pihak lain sebagai pihak yang harus dieliminasi.
Bila masyarakat pesantren dapat melakukan ciri tersebut diatas disaat berpolitik, maka bagi masyrakat yang sehat mentalnya akan medukung dan tentunya tidak asing lagi bagi pesantren. Mengingat substansi yang ada dalam ajaran pesantren sudah selayaknya pesantren memunculkan peran politiknya dalam tataran internasional, mengingat bahwa pesantren sarat dengan nilai-nilai moral selama belum terkontaminasi oleh budaya Barat. Demikianlah sekilas relasi pesantren dengan politik dalam tataran historis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar