Seorang santri adalah penerus perjuangan orang-orang yang telah mendahuluinya, masa depan bangsa dan agama ini ada ditangan para santri sebagai salah satu aset bangsa yang dibanggakan. Nasib ke depan bangsa ini ada ditangan mereka, bila mereka lemah, baik secara fisik maupun intelektual, maka bangsa ini hanya menunggu kehancuran belaka. Maka, dalam salah satu firman-Nya, Allah s.w.t mengatakan bahwa hendaklah kita tidak meninggalkan generasi penerus yang lemah, baik lemah fisik maupun intelektual.
Berangkat dari hal itulah, maka sangat perlu ditekankan di sini bahwa seorang santri harus memiliki jiwa belajar yang kuat.. semangat untuk menuntut ilmu tiada henti harus selalu dipupuk, mengalahkan nafsu malas harus ditingkatkan. Grafik perkembangan prestasi harus ditingkatkan setiap waktu. Jika sudah memiliki jiwa seperti ini, maka seorang santri akan dengan mudah menjadi seorang santri yang kaya akan wawasan dan pengalaman. Dengan demikian maka santri akan lebih mudah untuk menjadi seorang santri yang intelektual dan seorang intelektual yang santri.
Maka dari itu, di pesantren ini diadakan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada hal tersebut, salah satunya kegiatan bahtsul masa’il yang menuntut santri harus pandai mengolah, menguasai dan berdiskusi tentang ilmu-ilmu yang ada di kitab kuning itu. Kitab kuning adalah gudangnya ilmu, luas sekali samudera keilmuan yang ada di kitab kuning, dan oleh karena itu membutuhkan keseriusan untuk menguasainya.
santri harus menguasai kitab kuning sebagai salah satu alat untuk menyelami ilmu yang luas itu. Kegiatan-kegiatan seperti bahtsul masa’il, halaqoh, dan sejenisnya yang menjadikan santri lebih memahami kitab kuning dan menguasai serta akhirnya mengamalkan kitab kuning ini harus digalakkan, jangan hanya sampai pada bisa membaca saja. Dan yang lebih penting dari itu adalah bahwa kita disamping bisa membacanya juga harus bisa memahaminya, menguasainya dan pada akhirnya mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, jangan hanya menguasai ilmu agama seperti yang ada di kitab kuning itu,santri k elak akan terjun ke masyarakat. Di masyarakat santri pasti dituntut menjadi pemimpin, minimal bagi keluarganya. Untuk itu, mumpung masih di pesantren juga harus pandai menguasai ilmu kemasyarakatan dan keorganisasian.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan bagi santri sebenarnya sudah mengajarkan kepada kita untuk hidup dan berjuang di masyarakat. Kalau kita mau belajar di pesantren tentang kemasyarakatan, keorganisasian dan perjuangan, maka pesantren sudah cukup untuk menjadi perpustakaan mini. Semua tentang ilmu itu sebenarnya sudah dikenalkan di pesantren ini. Maka, santri tak usah bingung ke mana harus mencari ilmu kemasyarakatan seperti itu. Di pesantren ini sudah diajarkan, jangan mengira tidak ada, apalagi sering keluar dengan alasan belajar ilmu kemasyarakatan.
Dengan begitu, ilmu kita sudah lengkap, ketika kita dihadapkan pada persoalan ilmu agama kita sudah menguasai beberapa literatur kitab kuning. Kita siap menjawab semua pertanyaan yang diajukan masyarakat kepada kita, begitu juga sebaliknya, ketika ditunjuk sebagai pemimpin dengan bekal kepemimpinan dan kemasyarakatan yang kita pelajari selama di pesantren.
Kembali ke santri intelektual. Mengapa harus santri yang intelektual? banyak pemimpin kita yang pandai dan intelektual. Namun, karena mereka tidak santri rata-rata kepemimpinan mereka tidak beres. Oleh karena itu ketika yang menjadi pemimpin adalah santri yang intelektual, maka tidak perlu diragukan lagi akhlak, moral serta intelektualnya.
Seorang santri yang menjadi pemimpin, maka insya Allah kepemimpinannya dapat dirasakan oleh seluruh masyarkat, janji-janjinya tidak sekedar janji, tapi akan diwujudkan. Mudah-mudahan kita dapat menjadi seorang santri yang intelektual dan intelektual yang santri dan mudah-mudahan kita selalu diberi inayah oleh Allah yang Maha Kuasa. Amin…..
Berangkat dari hal itulah, maka sangat perlu ditekankan di sini bahwa seorang santri harus memiliki jiwa belajar yang kuat.. semangat untuk menuntut ilmu tiada henti harus selalu dipupuk, mengalahkan nafsu malas harus ditingkatkan. Grafik perkembangan prestasi harus ditingkatkan setiap waktu. Jika sudah memiliki jiwa seperti ini, maka seorang santri akan dengan mudah menjadi seorang santri yang kaya akan wawasan dan pengalaman. Dengan demikian maka santri akan lebih mudah untuk menjadi seorang santri yang intelektual dan seorang intelektual yang santri.
Maka dari itu, di pesantren ini diadakan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada hal tersebut, salah satunya kegiatan bahtsul masa’il yang menuntut santri harus pandai mengolah, menguasai dan berdiskusi tentang ilmu-ilmu yang ada di kitab kuning itu. Kitab kuning adalah gudangnya ilmu, luas sekali samudera keilmuan yang ada di kitab kuning, dan oleh karena itu membutuhkan keseriusan untuk menguasainya.
santri harus menguasai kitab kuning sebagai salah satu alat untuk menyelami ilmu yang luas itu. Kegiatan-kegiatan seperti bahtsul masa’il, halaqoh, dan sejenisnya yang menjadikan santri lebih memahami kitab kuning dan menguasai serta akhirnya mengamalkan kitab kuning ini harus digalakkan, jangan hanya sampai pada bisa membaca saja. Dan yang lebih penting dari itu adalah bahwa kita disamping bisa membacanya juga harus bisa memahaminya, menguasainya dan pada akhirnya mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, jangan hanya menguasai ilmu agama seperti yang ada di kitab kuning itu,santri k elak akan terjun ke masyarakat. Di masyarakat santri pasti dituntut menjadi pemimpin, minimal bagi keluarganya. Untuk itu, mumpung masih di pesantren juga harus pandai menguasai ilmu kemasyarakatan dan keorganisasian.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan bagi santri sebenarnya sudah mengajarkan kepada kita untuk hidup dan berjuang di masyarakat. Kalau kita mau belajar di pesantren tentang kemasyarakatan, keorganisasian dan perjuangan, maka pesantren sudah cukup untuk menjadi perpustakaan mini. Semua tentang ilmu itu sebenarnya sudah dikenalkan di pesantren ini. Maka, santri tak usah bingung ke mana harus mencari ilmu kemasyarakatan seperti itu. Di pesantren ini sudah diajarkan, jangan mengira tidak ada, apalagi sering keluar dengan alasan belajar ilmu kemasyarakatan.
Dengan begitu, ilmu kita sudah lengkap, ketika kita dihadapkan pada persoalan ilmu agama kita sudah menguasai beberapa literatur kitab kuning. Kita siap menjawab semua pertanyaan yang diajukan masyarakat kepada kita, begitu juga sebaliknya, ketika ditunjuk sebagai pemimpin dengan bekal kepemimpinan dan kemasyarakatan yang kita pelajari selama di pesantren.
Kembali ke santri intelektual. Mengapa harus santri yang intelektual? banyak pemimpin kita yang pandai dan intelektual. Namun, karena mereka tidak santri rata-rata kepemimpinan mereka tidak beres. Oleh karena itu ketika yang menjadi pemimpin adalah santri yang intelektual, maka tidak perlu diragukan lagi akhlak, moral serta intelektualnya.
Seorang santri yang menjadi pemimpin, maka insya Allah kepemimpinannya dapat dirasakan oleh seluruh masyarkat, janji-janjinya tidak sekedar janji, tapi akan diwujudkan. Mudah-mudahan kita dapat menjadi seorang santri yang intelektual dan intelektual yang santri dan mudah-mudahan kita selalu diberi inayah oleh Allah yang Maha Kuasa. Amin…..
Sumber: Tausiyah KH. Masbuhin Faqih (Pengasuh Ponpes. Mambaus Sholihin Suc-Manyar-Gresik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar